Jumat, 18 Januari 2013




Kota Bukittinggi adalah salah satu kota di provinsi Sumatera BaratIndonesia. Kota ini pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masaPemerintahan Darurat Republik Indonesia.[4]
Bukittinggi sebelumnya disebut dengan Fort de Kock dan dahulunya pernah dijuluki sebagai Parijs van Sumatra selain kota Medan.[5] Kota ini merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh pendiri Republik Indonesia, di antaranya adalah Mohammad Hatta dan Assaat yang masing-masing merupakan proklamator dan pejabat presiden Republik Indonesia.
Selain sebagai kota perjuangan, Bukittinggi juga terkenal sebagai kota wisata yang berhawa sejuk, dan bersaudara (sister city) dengan Serembandi Negeri SembilanMalaysia. Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam. Tempat wisata yang ramai dikunjungi adalah Jam Gadang, yaitu sebuah menara jam mirip Big Ben yang terletak di jantung kota sekaligus menjadi simbol bagi kota yang berada pada tepi sebuah lembah bernama Ngarai Sianok.

[sunting]
Kota Bukittinggi mulai berdiri seiring dengan kedatangan Belanda yang kemudian mendirikan kubu pertahanan pada tahun 1825[6] pada masaPerang Padri di salah satu bukit yang terdapat dalam kota ini. Tempat ini dikenal sebagai benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Kemudian pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah Stadsgemeente (kota),[7] dan juga berfungsi sebagai ibu kota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.[8]
Sejarah

Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand. Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kenpeitai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.[9] Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam SukuGadutKapauAmpang GadangBatu Taba dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi dipilih menjadi ibu kota provinsi Sumatera, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan.[10]Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, ketika pada tanggal 19 Desember 1948kota ini ditunjuk sebagai ibu kota negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Di kemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember 2006.[11][12]
Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi Kota Besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatera Tengah masa itu,[13] yang meliputi wilayah provinsi Sumatera BaratJambiRiau dan Kepulauan Riau sekarang.
Dalam rangka perluasan wilayah kota, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan PP Nomor 84 Tahun 1999 yang isinya menggabungkan nagari-nagari di sekitar Bukittinggi ke dalam wilayah kota. Nagari-nagari tersebut yaitu CingkariangGaduikSianok Anam SukuGuguak Tabek Sarojo,Ampang GadangLadang LawehPakan SinayanKubang PutiahPasiaKapauBatu Taba, dan Koto Gadang.[14] Namun sebagian masyarakat di 12 nagari tersebut menolak untuk bergabung dengan Bukittinggi, sehingga peraturan tersebut hingga saat ini belum dapat dilaksanakan.[15]


Bukittinggi (Indonesia untuk "bukit yang tinggi") adalah salah satu dari kota-kota besar di Sumatera Barat, Indonesia, dengan populasi lebih dari 91.000 orang dan luas 25.24 km ². Hal ini di dataran tinggi Minangkabau, 90 km melalui jalan darat dari ibukota Sumatera Barat Kota Padang. Hal ini terletak pada 0 ° 18'20 "S 100 ° 22'9" E / 0,30556 ° S 100,36917 ° E, dekat gunung berapi Gunung Singgalang (tidak aktif) dan Gunung Marapi (masih aktif). Pada 930 m di atas permukaan laut, kota ini memiliki iklim yang sejuk dengan suhu antara 16,1 ° -24,9 ° C.
,foto pas tahun baru.



 Ngarai Sianok (Sianok Canyon)
Lubang jepang (Gua Jepang) - jaringan bunker bawah tanah dan terowongan yang dibangun oleh Jepang selama Perang Dunia II
Jam Gadang - sebuah menara jam besar yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1926.
Pasar Atas dan Pasar Bawah merupakan pasar tradisional di pusat kota.
Taman Bundo Kanduang taman. Taman mencakup replika Rumah Gadang (harfiah: rumah besar) dengan arsitektur khas Minangkabau) digunakan sebagai museum kebudayaan Minangkabau dan kebun binatang. Belanda puncak bukit pos Fort de Kock terhubung ke kebun binatang oleh jembatan penyeberangan Jembatan Limpapeh.
Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta (Museum Birthplace Bung Hatta), rumah di mana Indonesia pendiri ayah Mohammad Hatta lahir, sekarang menjadi museum.
Tujuan terdekat Terkemuka mencakup Danau Maninjau dan Lembah Harau.

Kependudukan


Masjid Bengkudu dengan kolam di sekitarnya di dekat Bukittinggi, salah satu masjid tertua di Indonesia.

Pasar Ateh tempo dulu
Perkembangan penduduk Bukittinggi tidak terlepas dari berubahnya peran kota ini menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau. Hal ini ditandai dengan dibangunnya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1890 dengan nama loods. Masyarakat setempat mengejanya denganloih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih Galuang.
Saat ini kota Bukittingi merupakan kota terpadat di provinsi Sumatera Barat, dengan jumlah angkatan kerja 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran.[3] Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis TionghoaJawaTamil dan Batak.
Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi. Mereka dizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit benteng Fort de Kock, yang terletak di bagian barat kota, membujur dari selatan ke utara, dan saat ini dikenal dengan namaKampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut jugaKampung Keling.





Pemerintahan


Balai kota Bukittinggi
Sejak tahun 1918 kota Bukittinggi telah berstatus gemeente,[16] selanjutnya tahun 1930 wilayah kota ini diperluas menjadi 5.2 km².[17] Pada masa pendudukan Jepang wilayah kota ini kembali diperluas. Kemudian di awal kemerdekaan Indonesia terjadi tumpang tindih batas-batas wilayah kota ini karena penetapan sepihak baik masa Hindia-Belanda maupun Jepang.
Saat ini batas wilayah pemerintahan kota dikelilingi oleh Kabupaten Agam, dan konfik antara kedua pemerintah daerah tersebut tentang batas wilayah masih berlanjut,[18] ditambah setelah keluarnya Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Dari peraturan pemerintah (PP) ini luas wilayah kota Bukittinggi bertambah menjadi 145.29,90 km², dengan memasukan beberapa nagari yang sebelumnya pada masa pendudukan Jepang berada dalam wilayah administrasi kota Bukittinggi.[19]
Namun seiring bergulirnya reformasi pemerintahan yang memberikan hak otonomi yang luas kepada kabupaten dan kota, muncul kembali penolakan dari masyarakat Kabupaten Agam atas perluasan dan pengembangan wilayah Kota Bukittinggi tersebut. Bagi masyarakat Kabupaten Agam yang masuk ke dalam wilayah perluasan kota ini, merasa rugi karena dengan kembalinya penerapan model pemerintahan nagari lebih menjanjikan, dibandingkan berada dalam sistem kelurahan. Selain itu timbul asumsi, masyarakat kota yang telah heterogen juga dikhawatirkan akan memberikan dampak kepada tradisi adat dan kekayaan yang selama ini dimiliki oleh nagari.

Perhubungan


Kota Bukittinggi berada pada posisi strategis Jalur Lintas Sumatera, yang menghubungkan PadangMedan, dan Palembang, serta berada di antaraPadang dan PekanbaruTerminal Aur Kuning merupakan terminal utama untuk angkutan transportasi darat di kota ini. Sementara untuk transportasi dalam kota, tersedia angkutan kota, taksi, dan bendi (kereta kuda).
Sebelumnya kota ini dilalui oleh jalur kereta api yang menghubungkan Kota Payakumbuh dan Kota Padang, yang dibangun sekitar awal abad ke-20. Namun pada dekade 1970-an, sarana transportasi ini tidak diaktifkan lagi. Kota ini juga telah memiliki sarana transportasi udara non-kelas yang bernamaBandara Bukittinggi.[30]

[sunting]Perekonomian


Lubang Jepang di Bukittinggi
Perkembangan pasar Loih Galuang yang sekarang disebut juga Pasar Ateh, membuat pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1900 mengembangkan sebuah loods ke arah timur, tepatnya pada kawasan pinggang bukit yang berdekatan dengan selokan yang mengalir di kaki bukit. Karena lokasi pasar tersebut berada di kemiringan, masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Pasar Teleng (Miring) atau Pasar Lereng. Perkembangan berikutnya di sekitar kawasan tersebut muncul lagi beberapa pasar, di antaranya Pasar Bawah dan Pasar Banto. Pasar-pasar tradisional di sekitar kawasan Jam Gadangini, kemudian berkembang menjadi tempat penjualan hasil kerajinan tangan dan cinderamata khas Minangkabau. Dalam penataan pasar, pemerintah Hindia-Belanda juga menghubungkan setiap pasar tersebut dengan janjang (anak tangga), dan di antara anak tangga yang terkenal adalah Janjang 40.
Untuk mengurangi penumpukan pada satu kawasan, pemerintah Kota Bukittinggi kemudian mengembangkan kawasan perkotaan ke arah timur dengan membangun Pasar Aur Kuning, yang saat ini merupakan salah satu pusat perdagangan grosir terbesar di Pulau Sumatera. Disebabkan luas wilayah yang kecil, sektor perdagangan merupakan salah satu pilihan yang tepat bagi pemerintah Kota Bukittinggi dalam meningkatkan pendapatan penduduknya.
Selain itu pemerintah Kota Bukittinggi juga menelurkan beberapa program dalam mengentaskan kemiskinan, di antaranya pelatihan keterampilan membordir dan pelatihan pembuatan kebaya, serta penumbuhan wirausaha baru.[31] Bordir asli Bukittinggi biasanya menggunakan teknik krancang langsung yang tergolong rumit dan memakan waktu. Ini berbeda dengan barang hasil serupa buatan TasikmalayaJawa Barat yang menggunakan teknik krancang solder. [32]

[sunting]Pariwisata

Pembangunan kepariwisataan merupakan salah satu sektor andalan bagi Kota Bukittinggi. Banyaknya objek wisata yang menarik, menjadikan kota ini dijuluki sebagai "kota wisata". Saat ini di kota Bukittinggi telah terdapat sekitar 60 hotel dan 15 biro perjalanan.[33] Hotel-hotel yang terdapat di kota Bukittinggi antara lain The Hills (sebelumnya Novotel), Hotel Pusako, dan baru-baru ini juga dibangun Hotel Rocky.
Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang Dunia II yang disebut dengan Lubang Japang.
Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum kebudayaan MinangkabauKebun Binatang Bukittinggidan benteng Fort de Kock, dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di Kota Bukittinggi.
Pasar Ateh (Pasar Atas) berada berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian kota. Di Pasar Ateh terdapat banyak penjual kerajinan tangan dan bordir,[34] serta makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat, seperti keripik sanjai (keripik singkong ala daerah Sanjai di Bukittinggi) yang terbuat dari singkong, karupuak jangek yang dibuat dari bahan kulit sapi atau kerbau, dan karak kaliang, sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8. Saat ini juga telah dibangun beberapa pusat perbelanjaan modern di Kota Bukittinggi.

[sunting]Olahraga


Lapangan Olahraga Wirabraja
Masyarakat Kota Bukittinggi sangat menyukai olahraga berkuda, dan setiap tahunnya kota ini mengadakan lomba pacu kuda di Bukit Ambacang, yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1889.[6] Perlombaan pacu kuda ini merupakan rangkaian perlombaan pacu kuda yang diadakan dibeberapa kawasan lain di Sumatera Barat. Dengan adanya pelombaan ini, mendorong para peternak kuda untuk tetap bertahan dan memanfaatkan tradisi ini sebagai sumber mata pencarian.[35]

[sunting]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar